Bagaimana menjadi orang Bali yang hidup di luar Bali tetapi tetap menjaga kebalian. Kebalian itu melekat pada budaya Bali sebagai identitas (cultural identity) bahasa dan sastra merupakan hal yang penting sebagai identitas budaya Bali. Kebudayaan adalah hasil dari proses belajar. Di luar Bali, kesempatan dan atmosfer belajar ridak sehangat di Bali. Lebih lanjut lagi, kesempatan mengekspresikan hasil belajar tersebut sangat terbatas, sehingga menurunkan keinginan untuk belajar. Apalagi kalau kemudian ditambah rasa inferior, merasa malu menyandang predikat “orang Bali”, kalau Bali dikait kaitkan oleh persepsi negatif atau pertanyaan-pertanyaan sinistik yang sulit di jawab oleh kalangan anak-anak/remaja.
Secara teoritis, dikatakan bahwa harus ada tiga komponen besar dalam usaha mempertahankan identitas budaya. Pertama adalah enabling setting, menciptakan situasi, membuat kondisi yang kondusif bagi masyarakat untuk memperkuat jati dirinya, terutama meyakinkan masyarakat tersebut bahwa apa yang akan dipelajarinya memang berguna bagi hidup dan kehidupannya. Ibarat menyiapkan panggung yang memberikan kesempatan seorang penari untuk berekspresi. Kedua, emporing the people, yaitu meningkatkan kapasitas pribadi anggota masyarakat. Di ibaratkan, mengajarkan agar setiap orang bisa “menari” atau menguasai suatu ketrampilan untuk bisa dipertontonkan di panggung. Dan yang ketiga adalah socio-political support, yaitu mengusahakan agar ada penonton yang menyaksikan penari yang menari di atas panggung. Tanpa penonton si penari tidak akan pernah tampil secara maksimal.
Dengan menggunakan teori tersebut, maka agar tetap menjadi orang Bali di luar Bali, yang pertama harus dilakukan adalah bagaimana menumbuhkan kebanggaan di kalangan orang Bali di luar Bali akan budaya Bali-Hindu yang adiluhung. Tanpa kebanggaan, maka tidak akan ada niat untuk mempelajari budaya Bali-Hindu. Kebanggaan ini bisa di tumbuhkembangkan dengan pendidikan (awareness program), memberikan pengetahuan bahwa budaya Bali sangat kompatibel dengan budaya modern, bahkan nilai-nilai buidaya Bali-Hindu banyak digunakan dalam berbagai konsep pembangunan, seperti Trihitakarana, sistem subak, ahimsa, toleransi, multiculturalisme, dan sebagainya. Kebudayaan Bali-Hindu adalah kebudayaan yang bernilai tinggi dan menjadi kekaguman dunia, bahkan menjadi point of reference dalam berbagai aspek pembangunan. Yang tidak kalah pentingnya adalah meyakinkan bahwa melaksanakan budaya Bali-Hindu bukanlah suatu beban. Sebaliknya, budaya Bali-Hindu tersebut bahkan bisa menjadi cultural capital untuk penghidupan.
Mengaktualisasikan budaya Bali-Hindu di luar Bali, yang berarti juga menjaga identitas kebalian orang Bali di luar Bali, sering dihadapi berbagai tantangan. Yang sering terjadi bukan saja tantangan dari lingkungan luar, melainkan juga kegamangan sikap individu (atau sekelompok individu), tentang aspek budaya yang harus/wajib dilaksanakan. Yang sering juga membuat kebingungan adalah keinginan yang sangat untuk melaksanakan praksis kebudayaan Bali-Hindu “persis seperti di Bali”, sementara atmosfer atau local setting tidak mendukung. Oleh karena itu maka harus ada keberanian untuk melakukan adaptasi, penyesuaian dengan lingkungan setempat. Para pemuka (prominent person) Bali harus berani memberikan dukungan agar orang Bali di luar Bali berani mengaktualisasikan kebudayaan Bali-Hindu yang tidak harus sama dengan di Bali, tanpa orang bersangkutan merasa ketakutan atau dikejar-kejar dosa. Adaptasi, dalam hal ini adalah kata kunci. Sekali lagi, makhluk yang paling bisa bertahan hidup bukanlah makhluk yang paling kuat, bukanlah yang paling perkasa, bukanlah yang paling besar melainkan yang paling bisa beradaptasi dengan lingkungan.