Pertumbuhan ekonomi pada kuartal I-2019 diprediksi tetap kuat. Hal ini ditopang oleh permintaan domestic, baik dari konsumsi swasta maupun konsumsi pemerintah. Konsumsi swasta diperkirakan tumbuh kuat seiring dengan daya beli terjaga, tingkat keyakinan konsumen yang membaik, serta dampak positif persiapan pemilu dan realisasi bantuan social yang tinggi.
Investasi diperkirakan tumbuh melambat tercermin dari penjualan semen yang menurun. Investasi non bangunan juga melambat, terindikasi dari realisasi import barang modal yang lebih rendah.
Adapun ekspor masih melambat di pengaruhi perlambatan ekonomi dunia yang kemudian berdampak pada penurunan volume perdagangan dan harga komoditas dunia. Perlambatan ekspor terjadi, bak pada produk pertanian, pertambangan, maupun manufaktur.
Sementara itu, import terus menurun sejalan dengan kebijakan yang ditempuh untuk mengurangi defisit neraca transaksi berjalan. Penurunan import terjadi pada barang konsumsi dan bahan baku. Kedepan , prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2019 pada kisaran 5,0 – 5,4 % di dukung permintaan domestik dan inflasi yang terkendali dalam kisaran sasaran 3,5 % plus minus 1 %. BI optimistis nilaii tukar ruiah akan menguat. Dalam sepekan terakhir, rupiah mengalami penguatan dari Rp 14.300 per dollar AS ke level Rp 14.135. Meskipun keesokan harinya nilai tukar rupiah sedikit terkoreksi , BI memandang hal itu sebuah koreksi yang sehat karena tidak mungkiin fluktuasi nilai tukar itu garis lebih. Nilai tukar itu di pengaruhi supply-demand yang harus mengalami fluktuasi. Dari sisi global, pada tahun 2018 ada tiga hal yang berpengaruh perkembangan nilai tukar rupiah, yakni kenaikan suku bunga Federal Reserve (FFR), adanya risk off di pasar keuangan global karena adanya perang dagang, serta ketidak pastian Brexit. Dari tiga faktor ini.
Pada 2018 sangat berpengaruh terhadap tekanan kurs, akan tetapi setidaknya tshun ini satu hal sudah lebih jelas, seperti hasi pertemuan The Fed yang member sinyal semakin jelas bahwa mereka tidak akan menaikkan suku bunga setidaknya tahun ini. Normalisasi akan di hentikan sampai dengan Sepetember 2019 yakni normalisasi neraca The Fed. Artinya satu factor global itu sudah jelas akan memberikan dukungan terhadap stabilitas rupiah. Selain itu, ada factor lain yang muncul, yakni situasi ekonomi global semakin melemah atau merosot. Data ekonomi Jerman keluar, data manufaktur, memang menunjukkan adanya kemerosotan, demikian juga di Prancis. Tapi, berdasarkan bebrapa referensi itu akan reborn pada akhir 2019. Memang pada akhirnya, European Central Bank (ECB) member sinyal sangat dovish. Karena itu, dari tiga factor ini sudah member arah yang jelas sebab tidak akan terlalu menekan rupiah dan sebaliknya justru bisa memberikan dukungan terhadap stabilitas rupiah. Adapun dari sisi domestic ada beberapa ysng mendukung diantaranya inflasi dibawah 3 % dan pertumbuhan ekonomi yang stabil di atas 5 %.
Defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) seharusnya pada kuartal tiga akan menurun. Tetapi, overall pada tahun 2019 seharusnya bisa mendekati 2,5 % dengan berbagai upaya dari pemerintah dan BI. Demikian, dari sisi stabilitas nilai tukar akan lebih baik dari tahun 2018. Tapi kurs jangan dilihat dari hari ke hari, karena ditentukan supply-demand. Jadi, bisa saja tiga hari menguat, satu hari melemah. Itu sebuah koreksi yang sehat.(Dr)
Download disini